JUDUL : HUKUM
PERIKATAN
NAMA :
FANNY HIDAYATI
NPM : 22211686
HUKUM
PERIKATAN
PENDAHULUAN
Dalam bahasa Belanda, istilah
perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Istilah perikatan tersebut
lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan diartikan
sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Namun,
sebagaimana telah dimaklumi bahwa buku III BW tidak hanya mengatur mengenai
”verbintenissenrecht” tetapi terdapat juga istilah lain yaitu ”overeenkomst”.
Dalam Berbagai keputusan hukum indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk
menterjemahkan kanverbintenis danovereenkomst, yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan
istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
2. Utrecht dalam bukunya Pengantar
Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untukverbintenis dan
perjanjian untukovereenkomst.
3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum
Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst
dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan
bagi ”verbintenis” yaitu :
1. perikatan.
2. perutangan.
3. perjanjian.
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah
terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu :
1. perjanjian.
2. persetujuan.
Untuk menentukan istilah yang paling
tepat untuk digunakan dengan menartikan istilah perikatan, maka perlunya
mengetahui makna terdalam istilah masing – masing. Verbintenis berasal dari
kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah
verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat
dikatakan sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas
pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan
sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari
dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”.
Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang
dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat
mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilah overeenkomst lebih tepat digunakan
untuk mengartikan istilah persetujuan.
LATAR
BELAKANG
Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
dinyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum yang bersumber pada Pancasila dan Hukum
berdasarkan atas kekuasaan. Ini mengandung pengertian bahwa Negara Indonesia
dalam melaksanakan tugasnya dilandasi oleh Hukum dan dapat di
pertanggungjawabkan secara Hukum. Pada Hakekatnya, Hukum menyatu dengan seluruh
kehidupan bersama, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud
dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya;
perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi
sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
Dalam Hukum perikatan Suatu perikatan harus dilakukan secara sukarela,
karena perikatan secara Yuridis bersandar pada asas kebebasan berkontrak, yaitu
kesepakatan kontrak itu tidak dipaksakan untuk dilakukan tetapi harus bersumber
pada kehendak dan itikad baik. Apabila kontrak telah disepakati dan disahkan maka dasar
hukum dari kekuatan suatu kontrak adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian acapkali ditemukan
wanprestasi terhadap kontrak yang telah disepakati. Oleh karena itu untuk
mengatasi sengketa di antara para pihak ditawarkan cara penyelesaian perkara
yaitu melalui peradilan atau penyelesaian perkara di luar pengadilan.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan dikenal dengan mediasi dan konsinyasi.
Sedangkan penyelesaian perkara di luar peradilan umum dikenal lembaga arbitrase
dan lembaga litigasi. Kedua lembaga ini lahir karena undang-undang yang
mengatur lembaga peradilan umum yang ada saat ini dipandang kurang mampu untuk
menjamin terselesaikannya masalah yang disengketakan.
Hal ini disebabkan
karena sedemikian banyak masalah harus diselesaikan oleh pihak pengadilan
sehingga harus menunggu giliran dan ditambah lagi dengan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, para pihak
lebih suka menggunakan penyelesaian sengketa di luar peradilan
umum/non-litigasi untuk menyelesaikan perkaranya,baik dengan cara mediasi,
negosiasi, konsiliasi ataupun arbitrase. Paradigma non-litigasi ini dalam
mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha
mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk
mendapatkan hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution.
KERANGKA PEMIKIRAN
HUKUM PERIKATAN
Pengertian Hukum Perikatan
Suatu hubungan
hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu dengan
seseorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap
menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain , yang berhak atas sikap yang
demikian itu. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu.
Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan
terjadi karena perjanjian dan undang-undang.
Hubungan
perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan
karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka.
tiga hal yang
harus diketahui dalam mendefinisikan suatu perjanjian:
- adanya suatu
barang yang akan diberi
- adanya suatu
perbuatan dan
- bukan
merupakan suatu perbuatan alam
melakukan Perjanjian sah harus disyaratkan pada
- Bebas dalam
menentukan suatu perjanjian
- Cakap dalam
melakukan suatu perjanjian
- Isi dari
perjajian itu sendiri
- Perjanjian dibuat
harus sesuai dengan Undang - Undang yang berlaku
seorang yang berpiutang memberikan pinjaman kepada yang berutang, dan yang
berutang tidak bisa memenuhi kewajibannya dalam membayar utang maka yang
berpiutang dapat melakukan tuntutan dengan 3 cara :
- Parade
Executie (melakukan perbuatan tanpa bantuan dari pengadilan yang hal ini
kaitannya dengan hakim)
- reel executie
( dimana hakim memberikan kekuasaan kepada berpiutang untuk melakukan suatu
perbuatan)
- Natuurelijke
Verbintenis (Secara suka rela dipenuhi/dibayar)
Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2. Perikatan
yang timbul dari undang – undang
3. Perikatan
terjadi bukan
perjanjian
Dalam
berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan
verbintenis danovereenkomst, yaitu :
·
Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan
untuk overeenkomst.
·
Utrecht dalam bukunya Pengantar
Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan
perjanjian untukovereenkomst.
·
Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum
Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst
dengan persetujuan.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga
istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
·
Perikatan
·
Perutangan
·
Perjanjian
Sedangkan untuk
istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia
yaitu :
perjanjian
dan persetujuan. Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan
dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya.
terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis
menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan
sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas
pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan
sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari
dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”.
Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang
dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat
mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka
istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah
persetujuan.
Asas-Asas
Hukum Perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme, yaitu :
·
·Asas Kebebasan Berkontrak terlihat
di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu
perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
a.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para
pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian,
artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
c.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang
akan diperjanjikan harus jelas dan
terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui
hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
d.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Pengertian
Wanprestasi
Berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian
antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai pasal 1338
sampai dengan 1431 KUH PERDATA maupun perjanjian yang bersumber pada undang
undang seperti di atur dalam pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH
perdata.apabila salah satu pihak ingkar janji maka itu menjadi alsan bagiu
pihak lainya untuk mengajukan gugatan.demikian juga tidak terpenuhinya pasal
1320 KUH perdata tentang syarat syarat sahnya suatu perjanjian menjadi alas an
untu kbatal atau di batalkan suatu persetujuan perjanjian melalui suatu
gugatan, Salah satu alas an untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar janji dari debitur.wanprestasi itu
dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atasu terlambat memenuhi
kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah di
perjanjikan. Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak
(debitur) tidak melakukan apa diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar
janji. Adapunbentuk dari Wanprestasi berupa empat kategori, yaitu :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
·
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan.
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
·
Melakukan sesuatu sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-Akibat Wanprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wansprestasi , dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1.Membayar Kerugian yang
Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering
diperinci meliputi tiga unsur, yakni
·
Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak.
·
Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat
oleh kelalaian si debitor;
·
Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau
Pemecahan Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248
KUH Perdata. Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
perdata.
Unsur-Unsur Perikatan
1. Hubungan Hukum
Hubungan Hukum ialah hubungan yang terhadapnya hukum
meletakkan “ Hak “ pada 1
pihak dan
melekatkan “ kewajiban” pada pihak lainnya.
2. Para Pihak
a. Para pihak
dalam suatu perikatan disebut dengan subjek perikatan.
b. Harus terjadi
antara 2 orang atau lebih.
c. Pertama, pihak
yang berhak atas prestasi atau pihak yang berpiutang disebut dengan Kreditur.
d. Kedua, pihak
yang berkewajiban memenuhi atas prestasi, atau pihak yang berhutang disebut
dengan Debitur.
Debitur
memiliki 2 Unsur , yaitu “ Schuld” dan “ hafting “
·
Schuld adalah hutang debitur kepada debitur.
·
Hafting adalah harta kekayaan debitur yang
dipertangggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut.
3. Objek
Yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu
hal pemenuhan perikatan. Pasal
1234 KUHP,
menyatakan “ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu”. Memberikan sesuatu yaitu menyerahkan
kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada kreditur , termasuk pemberian
sejumlah uang, penyerahan hak milik atas benda bergerak dan tidak bergerak.
4. Kekayaan
Pasal 1131 BW menyatakan bahwa “ segala kebendaan si
beruntung, baik yang
bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudak ada maupun yang akan dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan “.
Jenis-Jenis Hukum Keterikatan
Perikatan
dibedakan dalam berbagai- bagai jenis :
1. Dilihat dari
objeknya
a. Perikatan untuk
memberikan sesuatu;
b. Perikatan untuk
berbuat sesuatu;
c. Perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk
berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif;
d. perikatan mana suka
(alternatif);
e. perikatan
fakultatif;
f. perikatan generik
dan spesifik;
g. perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan
ondeelbaar);
h. perikatan yang sepintas
lalu dan terus- menerus (voorbijgaande dan voortdurende).
2. Dilihat dari
subjeknya, maka dapat dibedakan:
a. perikatan
tanggung- menanggung (hoofdelijk atau solidair) ;
b.perikatan pokok
dan tambahan ( principale dan accessoir) ;
3. Dilihat
dari daya kerjanya, maka dapat dibedakan:
a. perikatan dengan
ketetapan waktu;
b.perikatan
bersyarat.
Apabila
diatas kita berhadapan dengan berbagai jenis perikatan sebagaimana yang dikenal
Ilmu Hukum Perdata, maka undang- undang membedakan jenis perikatan sebagai
berikut:
1. Perikatan untuk
memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu;
2. Perikatan
bersyarat;
3. Perikatan dengan
ketetapan waktu;
4. Perikatan mana
suka (alternatif);
5. Perikatan
tanggung- menanggung (hoofdelijk, solidair);
6. Perikatan dengan ancaman hukuman.
Hapusnya Perikatan
Perihal hapusnya perikatan. Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan
yaitu :
·
Pembayaran
·
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan
·
Pembaharuan utang
·
Perjumpaan utang atau kompensasi
·
Percampuran utang
·
Pembebasan utang
·
Musnahnya barang yang terutabf
·
Kebatalan atau pembatalan
·
Berlakunya suatu syarat batal
·
Lewatnya waktu.
Adapun dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV
Buku III KUH Perdata adalah :
Syarat
yang membatalkan (diatur dalam Bab I).
Kadaluwarsa
(diatur dalam Buku IV, Bab 7).
DAFTAR PUSTAKA
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hukum/article/view/1156/219